Senin, 11 Juni 2012

Lilin Sebagai Tradisi Ritual Persembahyangan Etnis Tionghoa di Kuil Dewi Kwan Im Gunung Kawi


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
            Gunung kawi merupakan salah satu tujuan wisata religius. Masih di kawasan pesarean gunung kawi terdapat dua kawasan yang sangat dikultuskan etnis tionghoa, yakni kediaman Tan Kie Lam dan Kuil Dewi Kwan Im. Kuil Dewi Kwan Im inilah yang paling sering menjadi tempat kunjungan masyarakat Tionghoa. Bahkan, kehadiran mereka sangat dominan dibanding rtnis lainnya.
            Kuil Dewi Kwan Im ini sendiri terletak di dekat masjid imam soedjono yang berdiri tak jauh dari kuil ini. Kuil ini baru saja diresmikan pada juli 2010 dan mengalami renovasi total mulai akhir 2009. Areal bangunan ini dahulunya merupakan 2 bangunan terpisah yaitu kuil dewa Kwan Kong dan Kuil dewi kwan Im. Namun pada 2002 terjadi kebakaran yang menghancurkan areal ini dan kemudian dibiarkan begitu saja sampai akhir 2009.  
            Pertama kali memasuki Kuil Dewi Kwan Im, yang terasa adalah hawa yang kental dengan nuansa oriental khas etnis Tionghoa. Ruangan dipenuhi ornamen – ornamen berwarna merah. Dalam kuil tersebut terdapat patung Dewi Kwan Im berwarna emas yang di letakkan di tengah ruangan di depan tempat Lilin Ti Kong. Yang menjadikan keberadaan kuil itu tampak mencolok adalah dengan adanya lilin raksasa dan banyak lilin – lilin berbagai ukuran berwarna merah yang merupakan simbol dari Ti Kong ( dewa-dewi dalam masyarakat Kong Hu Cu). Lilin jumbo itu tampak mewah berada di lantai kuil yang berbahan baku granit. Hal inilah yang menarik perhatian peneliti dalam melakukan penelitian tentang Lilin sebagai tradisi ritual etnis tionghoa di Kuil Dewi Kwan Im Gunung Kawi.
            Setiap hari Kuil Dewi Kwan Im tak pernah sepi pengunjung. Selain berziarah , para pengunjung umumnya mempunyai satu tujuan yaitu ngalap berkah ( mencari kemakmuran ). Bahkan pada hari – hari tertentu jumlah 

pengunjung bisa berlipat – lipat, mengikuti penanggalan jawa dan cina, seperti Jumat Legi, Hari Raya Imlek, dan perayaan Tahun Baru Jawa atau Bulan Suro.
     Kuil Dewi Kwan Im ini dulu sangat megah dan sangat besar, tetapi karena sempat mengalami kebakaran yang diakibatkan karena percikan api dari lilin – lilin yang ada disana terutama lilin –lilin jumbo yang tidak bisa dipadamkan karena pada saat kebakaran tidak ada air di sekitarnya menurut penuturan warga sekitar. Setelah kejadian itu kuil ini menjadi kecil dan sempit, sehingga jika ada peziarah yang ingin melakukan ritual atau sembahyang dengan membawa rombongan, tidak semua rombongannya dapat masuk dan harus bergantian, sedangkan yang tersisa setelah kebakaran itu hanya lantai granit dan lilin – lilin mulai dari yang berukuran jumbo sampai yang kecil dan juga patung emas Dewi Kwan Im yang merupakan sumbangan dari seorang pengusaha sukses yang juga etnis tionghoa, beserta cawan – cawan emas tempat menaruh dupa.
     Mayoritas dari pengunjung yang datang ke Kuil Dewi Kwan Im ini adalah kaum Tionghoa. Mereka selalu rutin kemari untuk sembahyang dengan pengharapan yang berbagai macam. Kebanyakan mereka datang dengan rombongan dengan mengajak keluarga atau sanak saudara mereka.
     Suku bangsa Tionghoa ( biasa disebut juga Cina ) di Indonesia adalah salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan istilah Tenglang (Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Asal dari kata Tionghoa atau tionghwa, adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang keturunan Cina di Indonesia, yang berasal dari kata zhonghua dalam Bahasa Mandarin. Zhonghua dalam dialek Hokkian dilafalkan sebagai Tionghoa.
     Setiap yang berziarah ke Kuil Dewi Kwan Im dan ingin bersembahyang diwajibkan untuk membawa beberapa sayarat wajib yaitu bunga, dupa dan lilin berwarna merah. Jika tidak membawa salah satu diantaranya maka tidak akan bisa melakukan ritual sembahyang. Tetapi di dalam kuil sudah tersedia syarat – syarat tersebut dan bisa membeli langsung di kuil tersrebut. Etnis tionghoa yang sedang bersembahyang pertama – tama akan memberikan bunga kepada sang juru kunci, kemudian menuangkan minyak kelapa di sebuah cawan emas, setelah itu membakar 4 buah dupa 2 dupa mereka tancapkan di cawan emas yang terletak di depan patung Dewi Kwan Im beserta 2 lilin yang dinyalakan dan di letakkan di sisi kanan kiri patung, kemudian setelah mereka selesai memanjatkan doa, mereka akan keluar dan membakar 2 dupa lagi untuk ditancapkan di luar kuil yang juga disediakan tempat ritual sembahyang bersama 2 lilin yang juga di letakkan di sisi kanan dan kiri kemudian mereka memanjatkan permohonannya.
     Ketika melihat sekeliling Kuil Dewi Kwan Im, tampak banyak sekali lilin berwarna merah yang akan selalu menyala. Lilin – lilin tersebut ada yang berukuran kecil sampai yang berukuran jumbo. Keberadaan lilin – lilin ini tidak lepas dari kepercayaan etnis Tionghoa yang bersembahyang disini meyakini bahwa lilin yang mereka tancapkan di kiri dan kanan itu nantinya berguna sebagai penerang kehidupan mereka dan penerang rejeki yang akan datang pada mereka. Dan keberadaan lilin jumbo itu sendiri adalah merupakan sumbangan – sumbangan dari pengusaha dari kalangan etnis Tionghoa yang telah sukses dengan usahanya dan lilin jumbo itu merupakan simbol kesuksesan mereka karena harga lilin jumbo tersebut cukup mahal hingga mencapai puluhan juta rupiah. Dan ini sudah menjadi tradisi turun temurun dari orang – orang Tionghoa terdahulu.
            Berdasarkan pemahaman akan hal – hal yang unik mengenai keberadaan dan makna dari lilin – lilin di Kuil Dewi Kwan Im yang sudah menjadi tradisi ritual dari etnis Tionghoa inilah yang membuat peneliti ingin mengetahui dengan jelas mengenai sebab dan seluk beluk yang berkaitan dengan judul diatas. Sehubungan dengan latar belakang tersebut, peneliti melakukan penelitian dengan judul Lilin Sebagai Tradisi Ritual Etnis Tionghoa di Kuil Dewi Kwan Im Gunung Kawi ”
1.2. Rumusan Masalah
            Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Apa sebenarnya kegunaan dari lilin – lilin di Kuil Dewi Kwan Im tersebut?
2. Mengapa pengunjung yang mayoritas etnis Tionghoa itu rela menghabiskan
    uang hingga puluhan juta rupiah untuk membeli lilin – lilin berukuran jumbo 
    untuk di letakkan di Kuil tersebut?
3. Mengapa ketika melakukan ritual sembahyang harus meletakkan 2 lilin di kiri
    dan kanan di dalam ruangan maupun di luar ruangan sembahyang?
4. Apakah yang bisa melakukan ritual sembahyang di dalam Kuil tersebut hanya
    kaum Tionghoa saja?
1.3. Tujuan Penelitian
     Berdasarkan rumusan masalah yang penulis uraikan di atas, maka tujuan penelitian ini adalah :
1.  Memahami tempat persembahyangan yang sering di kunjungi etnis Tionghoa     di         kawasan pesarean Gunung Kawi.
2.  Memahami tradisi ritual persembahyangan yang dilakukan etnis Tionghoa di                 Kuil Dewi Kwan Im.
3.  Memahami apa sebenarnya kegunaan atau manfaat dari lilin – lilin dengan         aneka macam jenis yang ada di Kuil Dewi Kwan Im.
4.  Memahami apa sebenarnya tujuan dari para pengusaha sukses yang                                menyumbangkan lilin raksasa setelah usaha mereka sukses ke Kuil Dewi Kwan      Im.
1.4. Manfaat Penelitian
1. Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dpat memberikan sumbangan        ilmiah dalam bidang studi psikologi. Khususnya studi tentang metodologi         penelitian kualitatif. Selain itu, penelitian ini diharapkan bisa menjadi bahan             pertimbangan untuk bacaan atau referensi bagi semua pihak, khususnya bagi           program studi psikologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas     Brawijaya.
2. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memeberikan informasi,       dan dapat menjawab rasa keingin tahuan pada masyarakat mengenai lilin          sebagai tradisi ritual persembahyangan etnis Tionghoa di Kuil Dewi Kwan Im Gunung Kawi.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN
     Dalam menyusun penelitian ini, peneliti membutuhkan kajian pustaka dan kerangka pemikiran yang bertujuan untuk memberi batasan – batasan terhadap pokok bahasan yang diteliti agar tidak keluar jalur dari kajian penelitian yang dilakukan. Adapun teori – teori yang digunakan dalam penelitian ini antara lain :
2.1.      Kajian Pustaka
2.1.1.   Ritual Persembahyangan
     Berbicara mengenai hal persembahyangan, ada banyak sumber yang menjelaskan tentang hal tersebut dan ada banyak hal pula yang perlu diketahui mengenai ritual persembahyangan itu sendiri. Mungkin banyak masyarakat yang sudah mengetahui dan memahami tentang hal tersebut serta ada pula yang mengetahui  namun belum memahaminya . Tidak hanya pemahaman dan pendalaman ajaran agama saja yang perlu dilakukan oleh umat beragama, implementasi/penerapan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari juga perlu ditingkatkan lagi.
     Ritual (ritus) Dalam upacara keagamaan, ritual ini merupakan kepercayaan kepada kesakralan sesuatu menuntut ia diperlakukan secara khusus yang tidak dpat dipahami secara ekonomi dan rasional, seperti cara perlakuan terhadap sesuatu yang disakralkan, pada umumnya tidak dapat dipahami keuntungan dan alasan rasional, upacara, persembahan, sesajen, dan lain-lain. Sebagai kata sifat, ritual adalah segala yang dihubungkan atau disangkutkan, sedangkan sebagai kata benda adalah segala yang bersifat upacara keagamaan, seperti upacara gereja katolik. Dalam agama upacara ritual ini biasa dikenal dengan ibadat, kebaktian, berdoa, atau sembahyang. Persembahyangan ini bisa dilakukan sendiri-sendiri dan ada pula secara besama-sama. Rangkaian persembahyangan baik yang dilakukan secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama sesungguhnya inti dari persembahyangan tersebut adalah sama, yaitu sama-sama memiliki tujuan untuk mendekatkan diri kepada Sang Maha Pencipta, memohon keselamatan bagi alam beserta isinya, memohon ampun atas segala dosa-dosa, memanjatkan puji syukur akan hal-hal yang didapatkan di alam semesta ini, memohon kedamaian lahir bathin, dan masih banyak lagi tujuan dari ritual persembahyangan tersebut. Pada intinya, ritual persembahyangan yang ditujukan kepada Sang Pencipta sangatlah bersifat religius dan sangat sakral karena mengandung nilai-nilai mistis dan spiritual.
2.1.2.   Teori Harapan Victor H. Vroom
     Victor H. Vroom, dalam bukunya yang berjudul “Work And Motivation”
mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “Teori Harapan”. Menurut teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya. Dinyatakan dengan cara yang sangat sederhana, teori harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya akan menjadi rendah.
2.1.3. Teori Motivasi: Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow
            Di tahun 1943, seorang psikologis dari Amerika; Abraham Maslow (1908-1970), menulis sebuah mahakaryanya yang sangat berpengaruh di bidang psikologi motivasi. Teori Motivasi Manusia adalah tulisan Maslow yang menjadi inspirasi bagi banyak kebijakan di beragam perusahaan modern untuk memotivasi para karyawannya.
            Maslow mengungkapkan berbagai tingkatan kebutuhan manusia, mulai dari kebutuhan fisik hingga psikologis. Dan bermacam kebutuhan ini, disusun dalam suatu piramida yang hirarkis, berdasarkan sifat kebutuhannya.
            Biasanya piramida Maslow ini berfokus pada lima tingkat kebutuhan, mulai dari yang mendasar untuk bertahan hidup hingga kepada kebutuhan sosial dan kebutuhan untuk mengembangkan diri di dalam kehidupan.
Kelima tingkat kebutuhan tersebut adalah:
  1. Kebutuhan fisik untuk bertahan hidup seperti makanan, air, dan seterusnya.
2.      Kebutuhan akan keamanan seperti tempat tinggal serta kepastian keuangan, kesehatan yang terjaga, dan seterusnya.
3.      Kebutuhan untuk bersosialisasi dan saling menyayangi seperti berkeluarga, memiliki sahabat serta merasa menjadi bagian dari sesuatu, dan seterusnya.
4.      Kebutuhan untuk meninggikan harga diri seperti meraih prestasi atau pencapaian, meningkatkan rasa kebanggaan pribadi serta dihargai/dihormati oleh orang lain, dan seterusnya.
5.      Kebutuhan untuk mengaktualisasikan potensi diri untuk berkembang menjadi yang terbaik sesuai kata hati, mengoptimalkan kreativitas serta bakat untuk menjadi pakar atau inovator yang berguna bagi sesama, dan seterusnya. Gambar Piramida Hierarki Teori Kebutuhan Maslow
http://upload.wikimedia.org/wikipedia/commons/thumb/4/45/Teori_kebutuhan_maslow.png/250px-Teori_kebutuhan_maslow.png
            Kebutuhan yang kelima adalah kebutuhan yang spesial, yang khusus dan baru bisa dipenuhi jika keempat kebutuhan lainnya sudah terpenuhi.
            Sedangkan keempat kebutuhan sebelum kebutuhan untuk aktualisasi diri ini disebut kelompok kebutuhan defisiensi. Empat kebutuhan defisiensi ini jika tidak terpenuhi akan menjadi demotivator yang berbahaya bagi semangat seseorang.
            Maka dari itu, jika suatu perusahaan ingin mencegah penurunan semangat kerja dari para karyawannya, maka manajemen harus memperhatikan pemenuhan keempat kebutuhan defisiensi ini.
            Level motivasi akan terjaga dengan stabil jika keempat kebutuhan defisiensi ini tidak kekurangan. Namun, jika kurang terpenuhi, motivasi seseorang dipastikan jadi merosot.
            Ini berarti memenuhi kebutuhan fisik seperti makan dan beristirahat, kebutuhan akan keamanan, kebutuhan sosial seperti pertemanan dan keintiman, kebutuhan ego seperti pengakuan, dan seterusnya adalah penting untuk menjaga kestabilan tingkat motivasi seseorang.
            Tapi, untuk seseorang agar bisa berkembang dan terus maju, kebutuhan kelima yaitu pengaktualisasian diri perlu diperhatikan. Kebutuhan kelima ini adalah kebutuhan yang membuat seseorang termotivasi untuk memperbaiki kualitas diri dan meningkatkan kinerjanya. Maka dari itu, kebutuhan kelima ini disebut juga sebagai kebutuhan untuk bertumbuh.
            Pemenuhan kebutuhan pertumbuhan dan pemaksimalan potensi diri ini penting untuk disadari dan dipahami. Sayangnya, banyak orang yang tidak menyadari perlunya pemenuhan kebutuhan kelima ini dan akhirnya menjadi sering stres karena kecemasan dan depresi.
2.1.4.   Tradisi
            Tradisi (Bahasa Latin: traditio, “diteruskan”) atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok  masyarakat, biasanya dari suatu  negara, kebudayaanwaktu, atau agama yang sama. Hal yang paling mendasar dari   tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah. Dalam pengertian lain tradisi adalah adat-istiadat atau kebiasaan    yang turun temurun yang masih dijalankan di masyarakat. Dalam suatu masyarakat muncul semacam penilaian bahwa cara-cara yang sudah ada merupakan cara yang terbaik untuk menyelesaikan persoalan. Biasanya sebuah tradisi tetap saja dianggap sebagai cara atau model terbaik selagi belum ada alternatif lain. 

            Tradisi merupakan roh dari sebuah kebudayaan. Tanpa tradisi tidak mungkin suatu kebudayaan akan hidup dan langgeng. Dengan tradisi hubungan antara individu dengan masyarakatnya bisa harmonis. Dengan tradisi sistem kebudayaan akan menjadi kokoh. Bila tradisi dihilangkan maka ada harapan suatu kebudayaan akan berakhir disaat itu juga. Setiap sesuatu menjadi tradisi biasanya telah teruji tingkat efektifitas dan tingkat efesiensinya. Efektifitas dan efesiensinya selalu ter-update mengikuti perjalanan perkembangan unsur kebudayaan. Berbagai bentuk sikap dan tindakan dalam menyelesaikan persoalan kalau tingkat efektifitasnya dan efesiensinya rendah akan segera ditinggalkan pelakunya dan tidak akan pernah menjelma menjadi sebuah tradisi. Tentu saja sebuah tradisi akan pas dan cocok sesuai situasi dan kondisi masyarakat pewarisnya.

2.1.5.     Teori Belajar Cognitive Field
            Teori belajar cognitive field bersumber pada psikologi lapangan (field psikology), dengan tokoh utamanya Kurt Lewin. Individu selalu berada dalam suatu lapangan psikologis yang oleh Lewin disebut life space. Dalam lapangan ini selalu ada tujuan yang ingin dicapai, ada motif yang mendorong pencapaian tujuan dan ada hambatan-hambatan yang harus diatasi. Perbuatan individu selalu terarah kepada pencapaian sesuatu tujuan, oleh karena itu sering dikatakan perbuatan individu adalah purposive. Apabila ia telah berhasil mencapai sesuatu tujuan maka timbul tujuan lain yang ingin dicapai dan berada dalam life space baru. Setiap orang berusaha mencapai tingkat perkembangan dan pemahaman yang terbaik, di dalam lapangan psikologisnya masing-masing. Lapangan psikologis terbentuk oleh interelasi yang simultan dari orang-orang dan lingkungan psikologisnya di dalam suatu situasi. Tingkah laku seseorang pada suatu saat merupakan fungsi dari semua faktor yang ada yang saling bergantung pada yang lain.
2.1.6.   Etnis Tionghoa
            Suku bangsa Tionghoa (biasa disebut juga Cina) di Indonesia adalah
salah satu etnis di Indonesia. Biasanya mereka menyebut dirinya dengan
istilah Tenglang(Hokkien), Tengnang (Tiochiu), atau Thongnyin (Hakka). Dalam bahasa Mandarinmereka disebut Tangren (Hanzi: 唐人, "orang Tang"). Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa orang Tionghoa-Indonesia mayoritas berasal dari Cina selatan yang menyebut diri mereka sebagai orang Tang, sementara orang Cina utara menyebut diri mereka sebagai orang Han (Hanzi: 漢人, hanyu pinyin: hanren, "orang Han").
            Leluhur orang Tionghoa-Indonesia berimigrasi secara bergelombang sejak ribuan tahun yang lalu melalui kegiatan perniagaan. Peran mereka beberapa kali muncul dalam sejarah Indonesia, bahkan sebelum Republik Indonesia dideklarasikan dan terbentuk. Catatan-catatan dari Cina menyatakan bahwa kerajaan-kerajaan kuno diNusantara telah berhubungan erat dengan dinasti-dinasti yang berkuasa di Cina. Faktor inilah yang kemudian menyuburkan perdagangan dan lalu lintas barang maupun manusia dari Cina ke Nusantara dan sebaliknya.
Setelah negara Indonesia merdeka, orang Tionghoa yang berkewarganegaraan Indonesia digolongkan sebagai salah satu suku dalam lingkup nasional Indonesia, 
            Masyarakat Tionghoa di Indonesia pernah terbagi dalam tiga golongan besar: totok, peranakan, dan hollands spreken. Yang tergolong totok adalah mereka yang baru satu turunan di Indonesia (orang tuanya masih lahir di Tiongkok) atau dia sendiri masih lahir di sana. Lalu ketika masih bayi diajak xia nan yang (turun ke laut selatan). Yang disebut peranakan adalah yang sudah beberapa keturunan lahir di tanah yang kini bernama Indonesia. Sedangkan yanghollands spreken adalah yang -di mana pun lahirnya- menggunakan bahasa Belanda, mengenakan jas dan dasi, kalau makan pakai sendok dan garpu, dan ketika Imlek tidak mau menghias rumah dengan pernik-pernik yang biasa dipergunakan oleh peranakan maupun totok.
Yang peranakan umumnya bekerja di sektor pertanian, perkebunan, dan perdagangan. Mereka berbahasa Jawa, Minang, Sunda, Bugis, dan bahasa di mana mereka tinggal. Mereka menyekolahkan anaknya juga tidak harus di sekolah Tionghoa.
2.1.7.   Lilin Sebagai Tradisi Ritual Persembahyangan Etnis Tionghoa di Kuil             Dewi Kwan Im Gunung Kawi
            Kuil Dewi Kwan Im merupakan salah satu tempat melakukan persembahyangan di Gunung Kawi yang paling sering dikunjungi etnis Tionghoa. Banyak dari mereka yang kesana dengan membawa rombongan teman maupun saudaranya untuk memanjatkan doa agar apa yang mereka inginkan tercapai. Keinginan dari mereka pastinya bermacam – macam, tetapi biasanya kebanyakan mereka yang memanjatkan doa disana karena mereka ingin bisa sukses dan usaha yang mereka jalankan bisa lancar. Pada intinya banyak dari mereka yang mengharapka dengan berdoa di sana rejeki mereka bisa dapat terus mengalir.
            Kuil Dewi Kwan Im terletak di dekat masjid imam sudjono. Disana kita dapat menyaksikan perbedaan budaya yang harmonis dapat bersatu. Karena pengunjung disana memang kebanyakan etnis Tionghoa tetapi tidak jarang ditemui kaum – kaum pribumi pun banyak yang juga berziarah ke kuil tersebut walaupun hanya sekedar melihat – lihat atau ada juga yang memnajatkan doa dari luar. Karena kebanyakan yang bersembahyang di dalam kuil adalah kaum etnis Tionghoa.
            Ketika pertama kali memasuki kawasan kuil, maka kita akan merasakan suasana yang kental dengan masyarakat Tionghoa dengan nuansa yang kebanyakan berwarna merah dan emas. Terdapat di tengah ruangan patung Dewi Kwan Im berwarna emas dan juga cawan – cawan emas yang berukuran besar. Didalam ruangan juga dijaga oleh 1 juru kunci yang menggunakan pakaian adat berwarna hitam yang bertugas menaruh sesaji yang di bawa oleh peziarah sebagai syarat untuk emmanjatkan doa. Sedangkan di luar ruangan kuil juga terdapat tempat persembahyangan yang berada dekat dengan tungku perapian dengan dua juru kunci yang sudah tua dengan menggunakan baju adat jawa berwarna coklat.
            Yang menarik dari kuil ini adalah, di kuil ini banyak sekali terdapat lilin – lilin berwarna merah dari ukuran kecil sampai yang berukuran raksasa. Lilin berukuran raksasa diletakkan di luar ruangan kuil sedangkan yang berukuran kecil terdapat di dalam ruangan maupun di luar ruangan tepatnya di tempat persembahyangan. Ternyata lilin – lilin ini merupakan salah satu syarat yang harus dibawa peziarah ketika akan bersembahyang disini. Merka harus menyiapkan 4 lilin kecil berwarna merah untuk diletakkan di sisi kanan dan kiri patung Dewi Kwan Im ketika akan memulai ritual persembahyangan. Sedangkan lilin – lilin yang berukuran besar merupakan sumbangan dari para pengusaha – pengusaha yang kebanyakan merupakan etnis Tionghoa yang usahanya sudah sukses dan itu sudah menjadi tradisi bagi mereka. Walaupun Kuil Dewi Kwan Im sempat terbakar karena adanya percikan dari lilin – lilin tersebut yang membuat seluruh isi banguna terbakar dan yang tersisia hanya patung Kwan Im dan beberapa benda lain yang masih bisa di selamatkan. Tetapi dengan adanya lilin – lilin ini lah yang menambah kekentalan dan kekhasan nuansa dari budaya Tionghoa.       

2.2.      Kerangka Pemikiran

BAB III
METODE PENELITIAN
3.1.      Jenis Penelitian
            Penelitian kualitatif bertujuan untuk melakukan penafsiran terhadap fenomena sosial. Metodologi penelitian yang dipakai adalah multi metodologi, sehingga sebenarnya tidak ada metodologi yang khusus. Para periset kualitatif dapat menggunakan semiotika, narasi, isi, diskursus, arsip, analisis fonemik, bahkan statistik. Di sisi yang lain, para periset kualitatif juga menggunakan pendekatan, metode dan teknik-teknik etnometodologi, fenemologi, hermeneutic, feminisme, rhizomatik, dekonstruksionisme, etnografi, wawancara, psikoanalisis, studi budaya, penelitian survai, dan pengamatan melibat (participant observation) (Agus Salim, 2006). Dengan demikian, tidak ada metode atau praktik tertentu yang dianggap unggul, dan tidak ada teknik yang serta merta dapat disingkirkan. Kalau dibandingkan dengan metodologi penelitian yang dikemukakan oleh Feyerabend (dalam Chalmers, 1982) mungkin akan mendekati ketepatan, karena menurutnya metodologi apa saja boleh dipakai asal dapat mencapai tujuan yang dikehendaki.
            Penggunaan dan arti metode penelitian kualitatif yang berbeda-beda ini menyulitkan diperolehnya kesepakatan diantara para peneliti mengenai definisi yang mendasar atasnya. Selanjutnya Agus Salim (2006) menyatakan bila suatu definisi harus dibuat bagi pendekatan kebudayaan , maka penelitian kualitatif adalah suatu bidang antardisiplin, lintas disiplin, bahkan kadang-kadang kawasan kontradisiplin.
            Di sisi lain, penelitian kualitatif juga melintasi ilmu pengetahuan humaniora, sosial, dan fisika. Hal tersebut berarti penelitian kualitatif memiliki fokus terhadap banyak paradigma. Para praktisinya sangat peka terhadap nilai pendekatan multimetode. Mereka memiliki komitmen terhadap sudut pandang naturalistiuk dan pemahaman intepretatif atas pengalaman manusia. Pada saat yang sama, bidang ini bersifat politis dan dibentuk oleh beragam etika dan posisi politik.
            Meskipun penelitian kualitatif bersifat multi metodologi, akan tetapi seperti halnya penelitian kuantitatif perlu mempertimbangkan validitas data.
Ciri-ciri Penelitian Kualitatif
Penelitian kualitatif berbeda dengan penelitian lain. Untuk mengetahui perbedaan tersebut ada 14 ciri penelitian kualitatif yaitu:
1.       Dalam penelitian kualitatif data dikumpulkan dalam kondisi yang asli atau alamiah (natural setting).
2.       Peneliti sebagai alat penelitian, artinya peneliti sebagai alat utama pengumpul data yaitu dengan metode pengumpulan data berdasarkan pengamatan dan wawancara
3.       Dalam penelitian kualitatif diusahakan pengumpulan data secara deskriptif yang kemudian ditulis dalam laporan. Data yang diperoleh dari penelitian ini berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka.
4.       Penelitian kualitatif lebih mementingkan proses daripada hasil, artinya dalam pengumpulan data sering memperhatikan hasil dan akibat dari berbagai variabel yang saling mempengaruhi.
5.       Latar belakang tingkah laku atau perbuatan dicari maknanya. Dengan demikian maka apa yang ada di balik tingkah laku manusia merupakan hal yang pokok bagi penelitian kualitatif. Mengutamakan data langsung atau “first hand”. Penelitian kualitatif menuntut sebanyak mungkin kepada penelitinya untuk melakukan sendiri kegiatan penelitian di lapangan.
6.       Dalam penelitian kualitatif digunakan metode triangulasi yang dilakukan secara ekstensif baik tringulasi metode maupun triangulasi sumber data.
7.       Mementingkan rincian kontekstual. Peneliti mengumpulkan dan mencatat data yang sangat rinci mengenai hal-hal yang dianggap bertalian dengan masalah yang diteliti.
8.       Subjek yang diteliti berkedudukan sama dengan peneliti, jadi tidak sebagai objek atau yang lebih rendah kedudukannya.
9.       Mengutamakan perspektif emik, artinya mementingkan pandangan responden, yakni bagaimana ia memandang dan menafsirkan dunia dan segi pendiriannya.
10.   Verifikasi. Penerapan metode ini antara lain melalui kasus yang bertentangan atau negatif.
11.   Pengambilan sampel secara purposif. Metode kualitatif menggunakan sampel yang sedikit dan dipilih menurut tujuan penelitian.
12.   Menggunakan “Audit trail”. Metode yang dimaksud adalah dengan mencantumkan metode pengumpulan dan analisa data.
13.   Mengadakan analisis sejak awal penelitian. Data yang diperoleh langsung dianalisa, dilanjutkan dengan pencarian data lagi dan dianalisis, demikian seterusnya sampai dianggap mencapai hasil yang memadai.
14.   Teori bersifat dari dasar. Dengan data yang diperoleh dari penelitian di lapangan dapat dirumuskan kesimpulan atau teori.

Dasar Teoritis Penelitian
Pada penelitian kualitatif, teori diartikan sebagai paradigma. Seorang peneliti dalam kegiatan penelitiannya, baik dinyatakan secara eksplisit atau tidak, menerapkan paradigma tertentu sehingga penelitian menjadi terarah. Dasar teoritis dalam pendekatan kualitatif adalah:
1.       Pendekatan fenomenologis. Dalam pandangan fenomenologis, peneliti berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu.
2.       Pendekatan interaksi simbolik. Dalam pendekatan interaksi simbolik diasumsikan bahwa objek orang, situasi dan peristiwa tidak memiliki pengertian sendiri, sebaliknya pengertian itu diberikan kepada mereka. Pengertian yang dlberikan orang pada pengalaman dan proses penafsirannya bersifat esensial serta menentukan.
3.       Pendekatan kebudayaan. Untuk menggambarkan kebudayaan menurut perspektif ini seorang peneliti mungkin dapat memikirkan suatu peristiwa di mana manusia diharapkan berperilaku secara baik. Peneliti dengan pendekatan ini mengatakan bahwa bagaimana sebaiknya diharapkan berperilaku dalam suatu latar kebudayaan.
4.       Pendekatan etnometodologi. Etnometodologi berupaya untuk memahami bagaimana masyarakat memandang, menjelaskan dan menggambarkan tata hidup mereka sendiri. Etnometodologi berusaha memahami bagaimana orang-orang mulai melihat, menerangkan, dan menguraikan keteraturan dunia tempat mereka hidup. Seorang peneliti kualitatif yang menerapkan sudut pandang ini berusaha menginterpretasikan kejadian dan peristiwa sosial sesuai dengan sudut pandang dari objek penelitiannya.
            Berbeda dengan penelitian konvensional yang bersifat kuantitatif, dalam penelitian kualitatif, disain penelitian tidak ditentukan sebelumnya. Meskipun begitu, menurut Bogdan &Biklen, 1982 dalam Arief Furchan, 1996) fungsi disain tetap sama yaitu digunakan dalam penelitian untuk menunjukkan rencana penelitian tentang bagaimana melangkah maju.
3.2.      Lokasi dan Waktu Penelitian
            Lokasi observasi untuk penelitian ini berlangsung di Kuil Dewi Kwan Im, Gunung Kawi Kota Malang. Pada hari Jumat, tepatnya malam Kamis Legi menurut penanggalan Jawa.
3.3.      Fokus Penelitian
            Pada dasarnya penelitian kualitatif tidak dimuali dengan sesuatu yang tanpa alasan, tetapi dilakukan berdasarkan persepsi peneliti terhadap adanya masalah. Masalah dalam penelitian kualitatif bertumpu pada fokus. Ada dua maksud tertentu yang ingin dicapai dalam merumuskan masalah penelitian dengan jalan memanfaatkan fokus. Pertama, penetapan fokus dapat membatasi studi. Kedua, penetapan fokus berfungsi untuk memenuhi kriteria keluar masuknya informasi (Moleong,2010 : 92-94).
            Fokus dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan apa sebenarnya motivasi etnis tionghoa dan manfaat serta makna lilin Sebagai Tradisi Ritual Persembahyangan di Kuil Dewi Kwan Im Gunung Kawi.
3.4.      Subjek Penelitian
            Penelitian kualitatif sangat erat kaitannya dengan faktor-faktor konstektual. Jadi, maksud sampling dalm hal ini ialah untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber dan bangunannya (constructions). Dengan demikian tujuannya bukanlah memusatkan diri pada adanya perbedaan-perbedaan yang nantinya dikembangkan ke dalam generalisasi. Tujuannya adalah untuk merinci kekhususan yang ada dalam ramuan konteks yang unik. Maksud kedua dari sampling adalah menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul. Oleh sebab itu pada penelitian kualitatif tidak ada sampel acak, tetapi sampel bertujuan (purposive sample) . Jadi, dapat penulis tegaskan lagi bahwa sampling pada penelitian kualitatif berbeda dengan sampling pada penelitian kuantitatif. Pada penelitian kuantitatif kita mengenal istilah populasi dan sampel, sedangkan pada penelitian kualitatif tidak menggunakan populasi tapi hanya sampel purposiv (sampel bertujuan). Yang di maksud dengan Populasi adalah wilayah generalisasi yang terdiri atas objek/subyek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik kesimpulannya. Sedangkan Sampel adalah sebagian dari jumlah karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.
beberapa macam teknik sampling dalam penelitian kuantitatif:
1. Probality Sampling Probality Sampling adalah teknik sampling yang memberikan peluang yang sama bagi setiap unsur (anggota) populasi untuk dipilih menjadi anggota sampel. Teknik ini meliputi:
a. Simple Random Sampling
Dikatakan simple karena pengambilan sampel anggota populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam populasi itu. Cara ini dilakukan bila anggota populasi dianggap homogen.
b. Proportionate Stratified Random Sampling
Teknik ini digunakan bila populai mempunyai anggota yang tidak homogen dan berstrata secara proporsional.
c. Disproportionate Stratified Random Sampling
Teknik ini digunakan untuk menentukan jumlah sampel, bila populasi berstrata tetapi kurang proporsional.
d. Cluster Sampling (Area Sampling)
Teknik ini digunakan untuk menentukan sampel bila obyek yang akan diteliti atau sumber data sangat luas.
2. Nonprobality Sampling
Nonprobality Sampling adalah teknik pengambilan sampel yang tidak memberi peluang/kesempatan sama bagi setiap unsur atau anggota populasi untuk dipilih menjadi sampel. Teknik ini meliputi:
a. Sampling Sistematis
Sampling sistematis adalah teknik penentuan sampel berdasarkan urutan dari anggota populasi yang telah diberi nomor urut. 
b. Sampling Kuota
Sampling kuota adalah teknik untuk menentukan sampel dari populai yang mempunyai ciri-ciri tertentu sampai jumlah (kuota) yang diinginkan.
c. Sampling Aksidental
Sampling Aksidental adalah teknik penentuan sampel berdasarkan kebetulan, yaitu kapan saja yang secara kebetulan bertemu dengan peneliti dapat digunakan sebagai sampel bila dipandang cocok digunakan sebagai sampel.
d. Sampling Purposive
Sampling Purposive adalah teknik penentuan sampel dengan pertimbangan tertentu.
e. Sampling Jenuh
Sampling Jenuh adalah teknik penentuan sampel bila semua anggota populasi digunakan sebagai sampel.
f. Snowball Sampling
Snowball Sampling adalah teknik penentuan sampel yang mula-mula jumlahnya kecil, kemudian sampel ini disuruh memilih teman-temannya untuk dijadikan sampel, dan begitu seterusnya sehingga jumlah sampel menjadi banyak . Tujuan berbagai teknik penentuan sampel adalah agar diperoleh sampel yang representatif bagi populasinya. Berbagai teknik statistik telah dikembangkan untuk memperkirakan besarnya sampel, untuk memilih sampel secara rambang. Walaupun penggunaan teknik tersebut hanya sah kalau asumsi yang mendasari terpenuhi. Namun tidak dapat dipungkiri bahwa bagian statistika ini telah banyak membantu para peneliti dalam melakukan kegiatannya .
3.5.      Teknik Pengumpulan Data
            Di dalam metode penelitian kualitatif, lazimnya data dikumpulkan dengan beberapa teknik pengumpulan data kualitatif, yaitu; 1). wawancara, 2). observasi, 3). dokumentasi, dan 4). diskusi terfokus (Focus Group Discussion). Sebelum masing-masing teknik tersebut diuraikan secara rinci, perlu ditegaskan di sini bahwa hal sangat penting  yang harus dipahami oleh setiap peneliti adalah alasan mengapa masing-masing teknik tersebut dipakai, untuk memperoleh informasi apa, dan pada bagian fokus masalah mana yang memerlukan teknik wawancara, mana yang memerlukan teknik observasi, mana yang harus kedua-duanya dilakukan, dst. Pilihan teknik sangat tergantung pada jenis informasi yang diperoleh.
1.  Wawancara
            Wawancara ialah proses komunikasi atau interaksi untuk mengumpulkan informasi dengan cara tanya jawab antara peneliti dengan informan atau subjek penelitian. Dengan kemajuan teknologi informasi seperti saat ini, wawancara bisa saja dilakukan tanpa tatap muka, yakni melalui media telekomunikasi. Pada hakikatnya wawancara merupakan kegiatan untuk memperoleh informasi secara mendalam tentang sebuah isu atau tema yang diangkat dalam penelitian. Atau, merupakan proses pembuktian terhadap informasi atau keterangan yang telah diperoleh lewat teknik yang lain sebelumnya.
            Karena merupakan proses pembuktian, maka bisa saja hasil wawancara sesuai atau berbeda dengan informasi yang telah diperoleh sebelumnya.
Agar wawancara efektif, maka terdapat berapa tahapan yang harus dilalui, yakni ; 1). mengenalkan diri, 2). menjelaskan maksud kedatangan, 3). menjelaskan materi wawancara, dan 4). mengajukan pertanyaan (Yunus, 2010: 358).
            Selain itu, agar informan dapat menyampaikan informasi yang komprehensif sebagaimana diharapkan peneliti, maka berdasarkan pengalaman wawancara yang penulis lakukan terdapat beberapa kiat sebagai berikut; 1). ciptakan suasana wawancara yang kondusif dan tidak tegang, 2). cari waktu dan tempat yang telah disepakati dengan informan, 3). mulai pertanyaan dari hal-hal sederhana hingga ke yang serius, 4).  bersikap hormat dan ramah terhadap informan, 5). tidak menyangkal informasi yang diberikan informan, 6). tidak menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi yang tidak ada hubungannya dengan  masalah/tema penelitian, 7). tidak bersifat menggurui terhadap informan, 8). tidak menanyakan hal-hal yang membuat informan tersinggung atau marah, dan 9). sebaiknya dilakukan secara sendiri, 10) ucapkan terima kasih setelah wawancara selesai dan minta disediakan waktu lagi jika ada informasi yang belum lengkap.
            Setidaknya, terdapat dua jenis wawancara, yakni: 1). wawancara mendalam (in-depth interview), di mana peneliti menggali informasi secara mendalam dengan cara terlibat langsung dengan kehidupan informan dan bertanya jawab secara bebas tanpa pedoman pertanyaan yang disiapkan sebelumnya sehingga suasananya hidup, dan dilakukan berkali-kali; 2). wawancara terarah (guided interview) di mana peneliti menanyakan kepada informan hal-hal yang telah disiapkan sebelumnya. Berbeda dengan wawancara mendalam, wawancara terarah memiliki kelemahan, yakni suasana tidak hidup, karena peneliti terikat  dengan pertanyaan yang telah disiapkan sebelumnya. Sering terjadi pewawancara atau peneliti lebih memperhatikan daftar pertanyaan yang diajukan daripada bertatap muka dengan informan, sehingga suasana terasa kaku.
            Dalam praktik sering juga terjadi jawaban informan tidak jelas atau kurang memuaskan. Jika ini terjadi, maka peneliti bisa mengajukan pertanyaan lagi secara lebih spesifik. Selain kurang jelas, ditemui pula informan menjawab “tidak tahu”. Menurut Singarimbun dan Sofian Effendi (1989: 198-199), jika terjadi jawaban “tidak tahu”, maka peneliti harus berhati-hati dan tidak lekas-lekas pindah ke pertanyaan lain. Sebab, makna “tidak tahu” mengandung beberapa arti, yaitu:
1) informan memang tidak mengerti pertanyaan peneliti, sehingga untuk menghindari jawaban “tidak mengerti", dia menjawab “tidak tahu”.
2) informan sebenarnya sedang berpikir memberikan jawaban, tetapi karena suasana tidak nyaman dia menjawab “tidak tahu”.
3) pertanyaannya bersifat personal yang mengganggu privasi informan, sehingga jawaban “tidak tahu’ dianggap lebih aman
4) informan memang betul-betul tidak tahu jawaban atas pertanyaan yang diajukan. Karena itu, jawaban “tidak tahu" merupakan jawaban sebagai data penelitian yang benar dan sungguh yang perlu dipertimbangkan oleh peneliti.
            Dalam observasi ini peneliti menggunakan teknik wawancara mendalam ( in depth interview ). Alasan peneliti memilih teknik wawancara ini adalah agar suasana observasi tersamarkan dan terkesan lebih akrab sehinggak subjek tidak tegang dan kaku dalam menjawab.
2. Observasi
Selain wawancara, observasi juga merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang sangat lazim dalam metode penelitian kualitatif. Observasi hakikatnya merupakan kegiatan dengan menggunakan pancaindera, bisa penglihatan, penciuman, pendengaran, untuk memperoleh informasi yang diperlukan untuk menjawab masalah penelitian. Hasil observasi berupa aktivitas, kejadian, peristiwa, objek, kondisi atau suasana tertentu, dan perasaan emosi seseorang. Observasi dilakukan untuk memperoleh gambaran riil suatu peristiwa atau kejadian untuk menjawab pertanyaan penelitian.
Bungin (2007: 115-117) mengemukakan beberapa bentuk observasi, yaitu: 1). Observasi partisipasi, 2). observasi tidak terstruktur, dan 3). observasi kelompok. Berikut penjelasannya:
1) Observasi partisipasi adalah (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan penginderaan di mana peneliti terlibat dalam keseharian informan.
2) Observasi tidak terstruktur ialah pengamatan yang dilakukan tanpa menggunakan pedoman observasi, sehingga peneliti mengembangkan pengamatannya berdasarkan perkembangan yang terjadi di lapangan.
3)  Observasi kelompok ialah pengamatan yang dilakukan oleh sekelompok tim peneliti terhadap sebuah isu yang diangkat menjadi objek penelitian.

3. Dokumen
Selain melalui wawancara dan observasi, informasi juga bisa diperoleh lewat fakta yang tersimpan dalam bentuk surat, catatan harian, arsip foto, hasil rapat, cenderamata, jurnal kegiatan dan sebagainya. Data berupa dokumen seperti ini bisa dipakai untuk menggali infromasi yang terjadi di masa silam. Peneliti perlu memiliki kepekaan teoretik untuk memaknai semua dokumen tersebut sehingga tidak sekadar barang yang tidak bermakna.
3.6.      Teknik Analisa Data
            Teknik analisis data dalam penelitian kualitatif di dasarkan pada pendekatan yang digunakan. Beberapa bentuk analisis data dalam penelitian kualitatif, yaitu:
1. Biografi
Langkah-langkah analisis data pada studi biografi, yaitu:
a. Mengorganisir file pengalaman objektif tentang hidup responden seperti tahap perjalanan hidup dan pengalaman. Tahap tersebut berupa tahap kanak-kanak, remaja, dewasa dan lansia yang ditulis secara kronologis atau seperti pengalaman pendidikan, pernikahan, dan pekerjaan.
b. Membaca keseluruhan kisah kemudian direduksi dan diberi kode.
c. Kisah yang didapatkan kemudian diatur secara kronologis.
d. Selanjutnya peneliti mengidentifikasi dan mengkaji makna kisah yang dipaparkan, serta mencari epipani dari kisah tersebut. 
e. Peneliti juga melihat struktur untuk menjelaskan makna, seperti interaksi sosial didalam sebuah kelompok, budaya, ideologi, dan konteks sejarah, kemudian memberi interpretasi pada pengalaman hidup individu.
f. Kemudian, riwayat hidup responden di tulis dengan berbentuk narasi yang berfokus pada proses dalam hidup individu, teori yang berhubungan dengan pengalaman hidupnya dan keunikan hidup individu tersebut.
2. Fenomenologi
Langkah-langkah analisis data pada studi fenomenologi, yaitu:
a. Peneliti memulai mengorganisasikan semua data atau gambaran menyeluruh tentang fenomena pengalaman yang telah dikumpulkan.
b. Membaca data secara keseluruhan dan membuat catatan pinggir mengenai data yang dianggap penting kemudian melakukan pengkodean data.
c. Menemukan dan mengelompokkan makna pernyataan yang dirasakan oleh responden dengan melakukan horizonaliting yaitu setiap pernyataan pada awalnya diperlakukan memiliki nilai yang sama. Selanjutnya, pernyataan yang tidak relevan dengan topik dan pertanyaan maupun pernyataan yang bersifat repetitif atau tumpang tindih dihilangkan, sehingga yang tersisa hanya horizons (arti tekstural dan unsur pembentuk atau penyusun dari phenomenon yang tidak mengalami penyimpangan).
d. Pernyataan tersebut kemudian di kumpulkan ke dalam unit makna lalu ditulis gambaran tentang bagaimana pengalaman tersebut terjadi.
e. Selanjutnya peneliti mengembangkan uraian secara keseluruhan dari fenomena tersebut sehingga menemukan esensi dari fenomena tersebut. Kemudian mengembangkan textural description (mengenai fenomena yang terjadi pada responden) dan structural description (yang menjelaskan bagaimana fenomena itu terjadi).
f. Peneliti kemudian memberikan penjelasan secara naratif mengenai esensi dari fenomena yang diteliti dan mendapatkan makna pengalaman responden mengenai fenomena tersebut.
g. Membuat laporan pengalaman setiap partisipan. Setelah itu, gabungan dari gambaran tersebut ditulis.
3. Grounded theory
Langkah-langkah analisis data pada studi grounded theory, yaitu:
a. Mengorganisir data
b. Membaca keseluruhan informasi dan memberi kode.
c. Open coding, peneliti membentuk kategori informasi tentang peristiwa dipelajari.
d. Axial coding, peneliti mengidentifikasi suatu peristiwa, menyelidiki kondisi-kondisi yang menyebabkannya, mengidentifikasi setiap kondisi-kondisi, dan menggambarkan peristiwa tersebut.
e. Selective coding, peneliti mengidentifikasi suatu jalan cerita dan mengintegrasikan kategori di dalam model axial coding.  Selanjutnya peneliti boleh mengembangkan dan menggambarkan suatu acuan yang menerangkan keadaan sosial, sejarah, dan kondisi ekonomi yang mempengaruhi peristiwa.
4. Etnografi
Langkah-langkah analisis data pada studi etnografi, yaitu:
a. Mengorganisir file.
b.Membaca keseluruhan informasi dan memberi kode.
c. Menguraikan setting sosial dan peristiwa yang diteliti.
d. Menginterpretasi penemuan.
e. Menyajikan presentasi baratif berupa tabel, gambar, atau uraian.
5. Studi kasus
Langkah-langkah analisis data pada studi kasus, yaitu:                                             a.Mengorganisir informasi.                                                            
b.Membaca keseluruhan informasi dan memberi kode.
c.Membuat suatu uraian terperinci mengenai kasus dan konteksnya.
d.Peneliti menetapkan pola dan mencari hubungan antara beberapa kategori.
e.Selanjutnya peneliti melakukan interpretasi dan mengembangkan generalisasi natural dari kasus baik untuk peneliti maupun untuk penerapannya pada kasus yang lain.                                                                                                                        
f.Menyajikan secara naratif. 
3.7.      Keabsahan Data
            Banyak hasil penelitian kualitatif diragukan kebenarannya karena beberapa hal, yaitu subjektivitas peneliti merupakan hal yang dominan dalam penelitian kualitatif, alat penelitian yang diandalkan adalah wawancara dan observasi mengandung banyak kelemahan ketika dilakukan secar` terbuka dan apalagi tanpa kontrol, dan sumber data kualitatif yang kurang credible akan mempengaruhi hasil akurasi penelitian. Oleh karena itu, dibutuhkan beberapa cara menentukan keabsahan data, yaitu:
1. Kredibilitas
Apakah proses dan hasil penelitian dapat diterima atau dipercaya. Beberapa kriteria dalam menilai adalah lama penelitian, observasi yang detail, triangulasi, per debriefing, analisis kasus negatif, membandingkan dengan hasil penelitian lain, dan member check.
Cara memperoleh tingkat kepercayaan hasil penelitian, yaitu:
a. Memperpanjang masa pengamatan memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan, bisa mempelajari kebudayaan dan dapat menguji informasi dari responden, dan untuk membangun kepercayaan para responden terhadap peneliti dan juga kepercayaan diri peneliti sendiri.
b. Pengamatan yang terus menerus, untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang diteliti, serta memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
c. Triangulasi, pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut.
d. Peer debriefing (membicarakannya dengan orang lain) yaitu mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan.
e. Mengadakan member check yaitu dengan menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda dan mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan mengaplikasikannya pada data, serta denganmengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang data.
2. Transferabilitas yaitu apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain.
3. Dependability yaitu apakah hasil penelitian mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan.
4. Konfirmabilitas yaitu apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif. 
5.Reliabilitas
Reliabilitas penelitian kualitatif dipengaruhi oleh definisi konsep yaitu suatu konsep dan definisi yang dirumuskan berbeda-beda menurut pengetahuan peneliti, metode pengumpulan dan analisis data, situasi dan kondisi sosial, status dan kedudukan peneliti dihadapan responden, serta hubungan peneliti dengan responden.
 BAB IV
PEMBAHASAN
            Peneliti melakukan observasi di kawasan Gunung Kawi Kota Malang tepatnya di Kuil Dewi Kwan Im dengan tujuan untuk mengetahui aktivitas apa saja yang di lakukan para peziarah di kuil tersebut.
            Setelah dilakukan penelitian, peneliti menemukan beberapa hal yang unik yang terdapat di lokasi penelitian. Dan kemudian diangkatlah judul “ Lilin Sebagai Tradisi Ritual Persembahyangan Etnis Tionghoa di Kuil Dewi Kwan Im Gunung Kawi”. Dengan tujuan untuk mengetahui apa sebenarnya manfaat atau kegunaan lilin – lilin yang ada di Kuil Dewi Kwan Im dengan berbagai macam ukuran, dan motivasi apa yang ada dibalik tradisi persembahyangan etnis Tionghoa dengan memanfaatkan Lilin tersebut.
            Mengenai ritual persembahyangan yang dilakukan di Kuil Dewi Kwan Im pada saat melakukan penelitian, peneliti menjumpai ada rombongan keluarga etnis Tionghoa sedang melakukan ritual persembahyangan. Mereka datang kurang lebih sekitar 10 orang dengan membawa bungkusan plastik masing – masing. Kemudian mereka mulai masuk ke dalam kuil smabil menyerahkan bungkusan tersebut kepada sang juru kunci yang mengenakan baju adat jawa berwarna hitam. Sebelum mereka bersembahyang mereka mengambil 1 botol minyak kelapa kemudian mereka tuangkan dalam cawan emas yang ada di depan patung Dewi Kwan Im yang berada persis di tengah ruangan petak yang sedikit sempit sehingga tidak semua orang bisa masuk dan mereka bergantian masuk untuk melakukan ritual. Setelah itu sang juru kunci membuka bungkusan plastik tersebut, yang ternyata berisi bunga, lilin, dan dupa. Sang juru kunci meletakkan bunga pada tempat sesajen yang ada kemudian keluarga tionghoa itupun mulai menyalakan lilin yang mereka bawa kemudian mereka letakkan di sisi kanan dan kiri patung Dewi Kwan Im, lalu mereka membakar dupa dan kemudian mereka berdoa sambil membungkukan badan dan membawa dupa yang sudah terbakar. Setelah mereka selesai memanjatkan harapan mereka, kemudian dupa tersebut di tancapkan di cawan emas. Mereka melanjutkan sembahyang di depan ruangan Dewi Kwan Im yang letaknya dekat dengan tungku perapian tempat dimana ada 2 orang juru kunci yang juga mengenakan pakaian adat jawa berwarna coklat berumur sekitar 68 tahun dan dari tempat itulah peneliti mengamati ritual persembhayangan yang ada di Kuil Dewi Kwan Im. Di situ mereka juga melakukan hal yang sama seperti saat mereka di dalam ruangan, membakar lilin dan dupa dan meletakkannya pada posisi yang sama saat mereka lakukan di dalam yaitu meletakkan 2 lilin di samping kanan kiri dan menancapkan dupa di tengah – tengah tempat lilin diletakkan.
            Karena rasa penasaran peneliti maka, peneliti melakukan perbincangan atau tanya jawab dengan kedua juru kunci yang ada disitu. Beberapa pertanyaan peneliti ajukan untuk melengkapi data observasi yang diperlukan kepada kedua juru kunci yang telah bekerja disitu selama 20 tahun.
            Dari perbincangan itu peneliti memperoleh informasi bahwa Kuil Dewi Kwan Im adalah tempat yang tidak pernah berhenti dikunjungi oleh para peziarah terutama etnis Tionghoa. Karena di Kuil tersebut mereka biasanya melakukan ritual persembahyangannya. Ketika ditanya apakah yang bisa masuk dan melakukan ritual disitu hanya etnis Tionghoa saja, kedua juru kunci tersebut memberikan keterangan bahwa semua orang tidak peduli ras dan apapun dapat masuk dan bersembahyang asalkan mereka membawa persayaratan sebagai media untuk sembahyang yaitu bunga, dupa, dan lilin. Jika mereka sudah membawa semua itu maka bisa melakukan ritual, dan bagi yang beragama lain yang tidak mengetahui cara sembahyang dengan tradisi konghucu, maka ada sang juru kunci yang ada di dalam yang akan membantu dal melakukan ritual. Hanya saja jarang ada orang pribumi atau selain Tionghoa yang melakuakn ritual sembahyang di Kuil ini. Kalaupun ada mungkin mereka lebih memilih hanya memanjatkan doa di depan kuil saja tidak sampai masuk dan melakukan ritual.
            Kemudian perbincangan mulai beralih pada keberadaan lilin – lilin yang sangat banyak dan bervariasi ukurannya. Juru kunci bercerita bahwa tradisi sembahyang dengan menyalakan lilin dan meletakkan di sisi kanan dan kiri patung Dewi Kwan Im sudah berlangsung dari dulu, dan itu merupakan cara kaum etnis Tionghoa bersembahyang dan memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa. Mereka juga mempercayai bahwa lilin yang mereka nyalakan itu, nantinya yang akan menerangi kehidupan mereka dan kelancaran rejeki mereka. Maka dari itu mereka menaruhnya di sisi kanan dan kiri di dalam ruangan dan di luar ruangan. Ketika peneliti menanyakan tentang lilin – lilin yang berukuran raksasa dengan tinggi sekitar kurang lebih 1 - 2 meter yang di letakkan di luar ruangan kepada juru kunci mulai menceritakan bahwa lilin – lilin itu merupakan sumbangan dari pengusaha – pengusaha yang sudah sukses dan sering melakukan ritual persembahyangan disini yang kebanyakan merupakan kaum etnis Tionghoa. Juru kunci juga mengatakan bahwa lilin – lilin itu bukan lilin biasa karena harganya yang cukup fantastis, yaitu sekitar puluhan juta. Dan ketika ditanya apa sebenarnya motivasi dari sang penyumbang lilin – lilin raksasa itu untuk rela mengeluarkan dana yang cukup besar hanya untuk membeli lilin dan mereka harus membelinya sebanyak 2 buah yang akan di letakkan di sisi kiri dan kanan. Dan juru kunci menjawab bahwa dulu pernah ada yang penyumbang yang mengatakan padanya bahwa ia menyumbang lilin berukuran raksasa itu agar jalan rejekinya makin lancar dan merupakan ucapan syukur atas harapannnya yang telah terkabul meskipun ada satu alasan lagi yaitu untuk memberi tahu pengunjung bahwa dirinya telah menjadi orang yang sukses, karena di lilin – lilin raksasa hasil sumbangan itu pasti akan ditempel nama dan usaha sang penyumbang.
Analisis Data 
            Dari sini peneliti akan mencoba menganalisis peristiwa yang telah diobservasi tersebut dengan menggunakan 3 teori yaitu Teori Harapan (Victor H. Vroom), Teori Motivasi: Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow, Teori Belajar Cognitive Field (Kurt Lewin) yang menurut peneliti ketiga teori ini berhubungan dengan hasil observasi yang ada. Akan dijelaskan sebagai berikut :
1.         Teori Harapan (Victor H. Vroom)
            Yang berkaitan dengan teori ini adalah etnis Tionghoa yang tidak pernah melewatkan untuk melakukan ritual sembahyang di Kuil Dewi Kwan Im karena mereka percaya bahwa jika mereka melakukan ritual sembahyang di kuil tersebut dengan memenuhi syarat – syarat yang ada seperti membawa bunga, dupa, dan lilin dan memanjatkan harapannya di depan Patung Dewi Kwan Im maka harapan mereka akan terkabul. Dan dari pengamatan yang peneliti lakukan, ketika  melakukan ritual sembahyang tidak satupun tahapan – tahapan dari ritual tersebut yang mereka lewatkan. Menurut Vroom dalam teorinya motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Begitu pula seperti yang dilakukan oleh satu  rombongan keluarga etnis Tionghoa yang peneliti jumpai saat berada di kuil, menurut juru kunci rutin datang ke kuil tersebut untuk bersembahyang, karena menurut penuturan mereka kepada juru kunci ada kerabat mereka yang sukses setelah rutin melakukan ritual di kuil tersebut. Sehingga mereka mempunyai dorongan yang kuat untuk rutin melakukan ritual sembahyang disana agar harapan mereka bisa terwujud.
2.         Teori Motivasi: Hirarki Kebutuhan Abraham Maslow
            Dalam teori motivasi Abraham Maslow mengemukakan mengenai berbagai tingkatan kebutuhan manusia, mulai dari kebutuhan fisik hingga psikologis. Dan bermacam kebutuhan ini, disusun dalam suatu piramida yang hirarkis, berdasarkan sifat kebutuhannya.
            Biasanya piramida Maslow ini berfokus pada lima tingkat kebutuhan, mulai dari yang mendasar untuk bertahan hidup hingga kepada kebutuhan sosial dan kebutuhan untuk mengembangkan diri di dalam kehidupan.
            Dalam hasil observasi ini peneliti mencoba mengkaitkan fakta yang terjadi dilapangan ketika seorang etnis Tionghoa yang secara rutin melakukan ritual di Kuil Dewi Kwan Im  dan telah sukses rela mengeluarkan banyak uang hingga puluhan juta rupiah bahkan sampai ratusan juta rupiah untuk membeli lilin raksasa dan menyumbangkannya ke kuil tersebut dengan salah satu alasannya agar pengunjung yang datang kesana tahu bahwa ia merupaka pengusaha sukses karena nama penyumbang dan usahanya ditempelkan pada badan lilin tersebut walaupun ia mengatakan alasan utamanya adalah kepercayaannya agar rejekinya makin lancar. Menurut peneliti hal ini sangat cocok dengan salah satu teori hierarki kebutuhan maslow yang ke 4 yaitu Kebutuhan untuk meninggikan harga diri seperti meraih prestasi atau pencapaian, meningkatkan rasa kebanggaan pribadi serta dihargai/dihormati oleh orang lain, dan seterusnya. Dengan menyumbang dan dapat membeli lilin raksasa dengan harga fantastis tersebut sang penyumbang merasa bahwa itu dapat meninggikan harga dirinya karena itu merupakan bukti kesuksesannya.
3.         Teori Belajar Cognitive Field (Kurt Lewin)
            Dalam lapangan ini selalu ada tujuan yang ingin dicapai, ada motif yang mendorong pencapaian tujuan dan ada hambatan-hambatan yang harus diatasi. Perbuatan individu selalu terarah kepada pencapaian sesuatu tujuan, oleh karena itu sering dikatakan perbuatan individu adalah purposive.
            Inilah kutipan yang ada dalam teori belajar cognitive field yang akan peneliti coba kaitkan dengan tradisi lilin sebagai ritual persembahyangan etnis Tionghoa ini. Dari fakta – fakta yang peneliti dapatkan saat observasi tradisi yang merupakan kebiasaan atau tingkah laku yang sudah dilakukan ber ulang – ulang dan selalu ditiru yang juga merupakan suatu proses belajar, seperti pada bagian dimana ritual sembahyang dengan meletakkan lilin di kedua sisi, yaitu kiri dan kanan yang dipercaya oleh etnis Tionghoa dapat menerangi kehidupannya dan melancarkan jalannya rejeki dan akhirnya kebiasaan yang bermula dari kepercayaan tersebut menjadi suatu tradisi dan semua tindakan itu mempunyai tujuan agar semua harapan yang mereka panjatkan dapat dikabulkan oleh Sang Pencipta dan menjadi kenyataan. Seperti yang di katataka Kurt Lewin Dalam Teorinya perbuatan individu adalah purposive, melakukan segala sesuatunya untuk mencapai suatu tujuan tertentu yang diharapkannya.
BAB V
PENUTUP
5.1.      Kesimpulan
            Hasil penelitian tentang “Lilin Sebagai Tradisi Ritual Persembahyangan Etnis Tionghoa di Kuil Dewi Kwan Im Gunung Kawi” dapat diambil kesimpulan sebagai berikut :
1.         Etnis Tionghoa mempunyai cara ritual persembahyangan tersendiri yang     cukup  unik.
2.         Etnis Tionghoa mempunyai kepercayaan – kepercayaan tersendiri    yang    menurut mereka dapat menjembatani terwujudnya harapan atau       permohonan mereka kepada Sang Pencipta. Seperti ritual sembahyang             dengan meletakkan 2 lilin di sisi kiri dan kanan.    
3.         Etnis Tionghoa sangat memegang tradisi yang mereka anggap dapat            mewujudkan harapan mereka. 
4.         Etnis Tionghoa memiliki harga diri yang tinggi, terbukti dengan adanya      fakta mengenai lilin – lilin berukuran raksasa.
5.         Sebagian aset atau barang – barang seperti Patung Dewi Kwan Im berwarna emas yang berukuran besar yang ada di Kuil Dewi Kwan Im di   Gunung Kawi merupakan sumbangan dari pengusaha dari etnis Tionghoa             yang sukses.
5.2.      Saran
            Sebaiknya jika telah sukses, lebih baik sebagian uang yang berlebih juga bisa disalurkan untuk membiayai yayasan – yayasan atau digunakan untuk beramal membantu yang kurang mampu selain digunakan untuk membeli lilin – lilin berukuran raksasa.
LAMPIRAN I
DOKUMENTASI
Bagian dalam Kuil Dewi Kwan Im
Foto1029.jpg
Bagian luar Kuil Dewi Kwan Im
Foto1024.jpg

Etnis Tionghoa yang sedang melakukan ritual sembahyang
Foto1027.jpg
Dua juru kunci kuil sebagai informan
Foto1022.jpg



Lilin – Lilin berukuran raksasa
IMG_4818.GKawiLilin5Atap.JPG

LAMPIRAN 2
BUKTI WAWANCARA









Oval: Lilin sebagai tradisi ritual persembahyangan
Oval: Motivasi dari para pengusaha sukses yang menyumbangkan lilin raksasa setelah usaha mereka sukses ke Kuil Dewi Kwan  Im.